Searching...
Rabu, 01 Maret 2017

Liberalisasi Intelektual dalam Tubuh Pendidikan




    Pasca pengesahan UU Sisdiknas 2003 hingga kini menjelang 14 tahun diberlakukannya pendidikan sesuai UU tersebut, tampaknya kaum-kaum kiri masih tetap menggerogoti substansi dari UU tersebut. Pasalnya, dalam UU tersebut, pada bab V pasal 12 ayat 1 dikatakan, “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Hal demikian tentu saja membuat kaum liberal kelimpungan, karena dengan diberlakukannya UU Sisdiknas ini akan membatasi ruang gerak mereka untuk dapat menundukkan agama sebagai produk budaya, memisahkan urusan-urusan duniawi dengan urusan yang berkenaan dengan peribadatan agama, karena mereka menganggap keduanya harus dipisahkan. Pada awal-awal diberlakukannya UU Sisdiknas ini, seorang pastor Indonesia keturunan Jerman melakukan dialog bersama aktivis Jaringan Islam Liberal, yang dalam opininya mengatakan ‘akan gawat apabila negara mewajibkan pelajaran agama’. Pikiran-pikiran seperti ini kita tahu adalah warisan traumatik dari Barat yang pernah mengalami masa kelam dalam sejarah pendidikan dan ilmu pengetahuan mereka. Dominasi agama kerap menjadi ranjau bagi keleluasaan berpikir cendekiawan Barat. Barangsiapa memiliki opini yang berbeda dengan gereja, maka karya-karya mereka akan dipreteli, ditarik ke hadapan mahkamah inkusisi dan dipaksa mencabut temuan yang melawan doktrin gereja tersebut. Seperti yang pernah terjadi pada Galileo dan Copernicus.

    Satu tahun setelah disahkannya UU Sisdiknas, 27 agustus 2004 Bandung Raya digegerkan oleh sekumpulan mahasiswa  UIN Sunan Gunung Djati yang sedang melakukan masa orientasi mahasiswa. Dalam video unggahan di youtube, kumpulan mahasiswa yang tengah memperkenalkan jurusannya tersebut secara terang-terangan mendogmatisasi peserta ospek dengan wacana-wacana skeptisis hipokrit, subjektivitas amoral, rasionalis neurotik, sosialis liberal, anti-theis dan pluralisme. Dengan arogannya sekumpulan pemuda itu berkata bahwa tafsir-tafsir al-qur’an yang kita kenal saat ini perlu kiranya ditafsirkan dan ditinjau ulang, semua agama di dunia ini adalah sama tanpa ada perbedaan meskipun memiliki banyak pemeluk. Di penjuru lain, tepatnya di IAIN Sunan Ampel seberkas spanduk besar terpampang dengan tulisan ‘tuhan membusuk’. Ketika diklarifikasi, jawaban mereka begitu arbitrer. Ungkapnya bahwa kata ‘tuhan’ di sana bukan berarti tuhan yang sebenarnya, tetapi bisa saja itu ungkapan dari hawa dan nafsu manusia. Inilah distorsi yang sangat nyata. Apa yang mereka dapatkan setelah tiga tahun bergelut dengan kajian dan kuliah dasar agama (ushuluddin)? Sejatinya Ushuluddin adalah penanaman dasar agama yang mana seharusnya melahirkan benih-benih ulama yang memiliki misi dakwah Islam yang kuat. Lalu yang terjadi hari ini, bagaimana bisa mereka yang hanya 7 semester atau paling banyaknya 8 semester mengenyam kajian dan perkuliahan ilmu dasar agama dengan arogannya berkata tafsir al-qur’an perlu dikaji ulang? Tentu saja ini mencerminkan fenomena apa yang sedang terjadi dalam tubuh pendidikan Indonesia. Dan ironisnya, meski dengan intelektual yang zindiq dan  berantakan ini— asal semua SKS habis dilibas, mereka dapat keluar dengan gelar sarjana agama.

     Tak urung, walau UU Sisdiknas yang sistematis terhadap pendidikan keagamaan telah disahkan, namun sangat disayangkan hal demikian tetap terjadi. Ini membuktikan bahwa kampanye-kampanye liberalisasi tidak berhenti selangkahpun meski UU telah secara de jure membatasi ruang gerak mereka. Dua puluh enam Mei 2015, tokoh Jaringan Islam Liberal Luthfi Assyaukanie menulis dalam akun twitternya ‘Filsafat dan sains menajamkan pikiran. Agama datang menumpulkannya.’ Meski tidak se-ngetop B.J. Habibie— tak dapat dipungkiri, Assyaukanie memang seorang intelegensia sekaligus seorang dosen di universitas Paramadina. Tapi apakah pantas seorang pendidik mengatakan hal demikian? Mengagung-agungkan ilmu dengan meninggalkan aspek wahyu, dan menjadikan nafsu sebagai pemandunya. Konten seperti ini bukan hanya memisahkan pendidikan dengan agama seperti yang disepakati sang pastor, akan tetapi konten demikian telah melecehkan agama dan menggeser urgensitas ilmu menjadi hal yang patut didewakan.  

     Celakanya, bahkan konten-konten liberalisasi semacam ini telah dicoba digemboskan sedini mungkin kepada peserta didik setingkat SMP dan SMA. Sabtu, 4 Februari 2017 penulis menemukan sebuah buku berjudul Islam & Pluralisme di Indonesia karangan Sucipto S.IP yang diterbitkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2007— di rak buku di sebuah sekolah menengah atas negeri di Tangerang. Isinya sangat menyedihkan. Buku tersebut menuding bahwa fatwa MUI yang mengharamkan paham pluralisme adalah fatwa yang tidak bertanggung jawab yang mencederai keharmonisan bangsa. Di halaman 49 dikatakan, ‘Tetapi kenyataannya, MUI bukan sebagai lembaga otoritatif tetapi menjelma menjadi “drakula” yang siap memangsa berbagai pendapat yang dinilainya tidak sejalan dengan keyakinan MUI. Terang saja fatwa MUI tersebut, secara tidak langsung, memberi andil dan sumbangan yang sangat besar terhadap terjadinya kekerasan atas nama agama.’ Bayangkan apabila anak-anak yang notabene baru mengenal dunia sosial praktis harus terdoktrin bahwasannya penyebab kerusuhan yang sering mereka lihat di televisi adalah akibat dari kebencian antar umat beragama, sehingga seharusnya klaim umat Islam yang menyatakan bahwa ‘agama Islam adalah agama yang paling benar dan satu-satunya yang benar’ harus dihapuskan. Umat Islam tidak lagi dibolehkan mengklaim agamanyalah yang satu-satunya benar, dan dipaksa meninggalkan kalam-Nya dalam surat Ali Imron ayat 19.

      Intelektual zindiq seperti itulah yang sedang ditargetkan orang-orang liberal. Menyusup dengan lembut ke dalam jantung-jantung kehidupan umat yang salah satunya adalah pendidikan. Bagaimanapun caranya, berapapun harganya, demi menjadikan agama sebagai produk budaya, sehingga kebenaran-kebenaran yang sudah lekas diyakini oleh masing-masing umat beragama akan menjadi relatif sesuai dengan kondisi budaya yang ada.


Oleh : Ayu Arba Zaman

0 comments:

Posting Komentar

 
Back to top!