Searching...
Sabtu, 14 Mei 2016

Perjuangan Dan Labelling. Lalu, Bagaimana Sikap Kita?

Perjuangan Dan Labelling. Lalu, Bagaimana Sikap Kita?
Oleh: M. Jandi
Editor: A.Az


Bismillahirahmanirrohim.

Di abad 21 ini, berbagai penyimpangan dan penistaan agama semakin bermunculan dan terus tumbuh bak jamur dimusim hujan. Tujuan mereka tidak lain yaitu upaya pencacatan akidah. Upaya tersebut hari ini tidak lagi dilakukan dengan kekerasan fisik seperti pada tragedi Valencia di Spanyol, dimana 60.000 kaum muslimin dibantai dalam satu hari. Tapi hari ini upaya mereka mencacatkan akidah kaum muslimin adalah dengan perang pemikiran. Oleh sebabnyalah pada abad ini kita temui bahwa gerakan-gerakan yang jelas memiliki tujuan memerangi akidah umat islam sangat masif kita rasakan. Salah satunya adalah jaringan islam liberal (JIL) dan Syi’ah. Kedua faham ini sangat meresahkan umat muslim khususnya Indonesia, bahkan berbagai ormas dan kelompok islam pun menolak akan keberadaannya di Indonesia. Karena dari kedua gerakan ini terlalu berlebihan dalam menafsirikan berbagai nash-nash syar’i dan cenderung merendahkanya.
Jaringan Islam Liberal dan Syi’ah memiliki tujuan. Yakni, ingin menjungkirbalikkan akidah umat muslim dan secara perlahan masuk dalam serambi jantungnya, dan kemudian menghancurkannya. Kita sadari bersama bahwasanya untuk menumpas penyimpangan pemahaman sesat ini bukanlah pekerjaan mudah. Maka dari itu,  perlu adanya kerja kolektif dari berbagai kalangan untuk membendung paham liberal yang berusaha menempelkan diri pada tubuh umat Islam.
Beberapa hari yang lalu, penulis mendapatkan pesan dari media sosial yang dimana isinya mengenai JIL. Yang ditulis oleh Prof. KH. Muthofa Ali Ya’kub, rahimahullah. Bahwa JIL adalah sebuah pemikiran yang sifatnya liberal. Pemikiran tidak terpaku dengan teks-teks agama yakni (Al-Qur’an dan Hadist), tetapi lebih terikat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam teks-teks tersebut. Dalam implementasinya pemikiran ini dapat disebut meninggalkan teks sama sekali, dan hanya menggunakan rasio dan selera belaka.
Setelah penulis telusuri dari berbagai sumber bahwa perpaduan kedua kata yakni “islam” dan “liberal” sangatlah tidak tepat. Karena menurut para ulama, islam itu artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan liberal artinya bebas, dalam pengertian ini tidak harus tunduk pada ajaran (Al-quran dan Assunah) oleh karenanya, menurut Prof. Ya’kub pemikiran liberal sebenarnya tepat disebut sebagai “Pemikiran iblis” dari pada “Pemikiran Islam”, karena makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah swt. adalah iblis.
Pekan ini, tepat pada tanggal 9 Mei 2016, UIN SGD Bandung digegerkan dengan wacana sebuah diskusi yang diadakan oleh salah satu jurusan. Dan tentunya diskusi ini menghadirkan sosok pemikir cendikiawan jaringan islam liberal (JIL) yaitu Ulil Abshar Abdala dan tokoh Syi’ah yakni Jalaludin Rahmat. Kedatangan kedua tokoh ini menjadi pertimbangan berat bagi kalangan yang anti JIL dan Syi’ah karena dikhawatirkan akan menyebarkan dan menanamkan faham liberalnya kepada siapapun yang bersua di gedung multi purpose nanti. Maka dari itu, untuk membendung hal tersebut dibentuklah sebuah Aliansi Mahasiswa Islam (AMI), sebagai pelopor penolakan kedatangan kedua paham tersebut. Namun alhasil dari gerakan ini, AMI diberi hadiah yang sangat berbeda. Yaitu sebauh labelling yang menitikberatkan pada tindakan yang negatif.
Dalam hal ini penulis ingin mengajak kawan-kawan sekalian untuk sama-sama menyikapi, menilai, memahami dan mendalami sebuah label yang selama beberapa hari ini termuat dalam selembaran pressrealese yang disematkan bagi penolak paham liberal. Yaitu : sekterianisme dan konservatisme. Dilembar pertama tertulis “Kami menentang sekterianisme dan konservatisme” dikalangan civitas akadmika UIN SGD Bandung. Dilembar kedua tertulis “Hadang konservatisme dan sekterianisme berkedok agama”.  Dilembar pertama, menurut KBBI dijelaskan bahwa Sekterianisme adalah semangat membela suatu sekte atau mahdzab, kepercayaan, atau pandangan agama yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut. Sedangkan Konservatisme adalah paham politik yang ingin mempertahankan stabilitas sosial, melestarikan pranata yang sudah ada. Menurut mereka, kedua istilah ini sangat mengganggu, karena dianggap menghambat jalannya diskusi antar mahdzab dan cenderung anti-dialog saat bertindak. Padahal dari pihak AMI sendiri telah melakukan dialog dan audiensi mengenai penolakan paham tersebut yang telah siap maju selangkah lagi menuju gerbang kampus Islam. Namun segala tawaran dalam audiensi tersebut ditolak dari pihak acara.
Labelling yang disematkan kepada pihak AMI (sekterianisme dan konservatisme) sejatinya sebuah hal yang wajar dikala ada sebuah gerakan sosial yang terjadi. Maka, berbagai penilaian atau labellingpun disematkan. Namun, tergantung dari sudut pandang yang mana kita menilainya. Jika kita memandangnya negatif maka jeleklah yang akan kita terima. Tetapi, jika kita menilainya dengan positif maka kebaikan yang akan kita peroleh. Tentunya Allah Azza Wajalla dan pihak AMI yang lebih mengetahui makna dan tujuan dibalik tindakan ini. Sehingga AMI bisa menjelaskan kepada khalayak umum mengenai cara pandang (worldview) seperti apa yang perlu diutamakan.
Mari kita belajar dari seorang tokoh muslim yang juga menerima dan merasakan dilabelisasi. Penulis mengutip buku yang ditulis oleh Syekh Yusuf Qardhawi yang berjudul “Analisis dan Pencerahan Islam Ekstrem”. Dihalaman 25 terdapat sub tema yang berbunyi “menetapkan batas arti ekstremitas keagamaan serta dasar-dasarnya”. Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa segala sesuatu keterangan atau ketetapan yang tidak disandarkan kepada pemahaman Islam yang murni, nash-nash serta kaidah syar’iyyah yang kuat tidaklah berharga sama sekali. Apalagi yang disandarkan kepada pendapat-pendapat yang simpangsiur, tidak pula perkataan yang dari fulan atau fulan. Karena perkataan siapapun tidak bisa dijadikan dalil yang pasti selain firman Allah swt. dan sabda Nabi Muhammad saw.
“Apabila kamu berselisih pendapat dalam suatu perkara, hendaklah kamu kembali kepada Allah dan Rasulnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”. (QS. 4: 59).
Dimasa lalu, Imam Syafi’i tokoh Ahlus Sunnah, pernah dituduh sebagai rafidhi (sebutan penghinaan yang biasa ditunjukan oleh kaum nawashib yaitu kaum pembenci Ali bin Abi Thalib r.a dan Ahlul Bait. Kepada para pecinta ahlul bait, terutama kaum Syi’ah). Kemudian dengan nada menantang ia berkata sebagai jawaban “Jika saya akan dituduh sebagai orang rafidhi hanya karena saya mencintai keluarga Muhammad saw, maka biarlah semuanya bersaksi, bahwa saya adalah seorang rafidhi”.
Kemudian akhir-akhir inipun, salah seorang da’i berkata dalam do’anya: “Ya Allah, bila berpegang teguh pada kitab dan sunnah dianggap sebagai sikap seorang raj’i (terbelakang, kolot dan kaku) maka hidupkan dan matikanlah aku dalam keadaan raj’i, serta kumpulkanlah aku dengan orang-orang raj’i”.
Ikhwafillah pejuang tauhid yang dimuliakan Allah, dalam hal ini kita perlu memahami hakikat dan tabiat sebuah peristiwa. Terutama jika kita bertindak dan kemudian diberi cap, maka lihatlah dan amatilah dari sudut pandang yang mana kita menilainya. Maka dari itu, dalam hal ini kita perlu mengetahui bahwa pada kenyataanya, membatasi dan menegaskan pemahaman beberapa kalimat yang tersiar secara luas. Seperti: Raj’i (Kolot), Jumud (Beku), Fundamental, Ekstrem, Berwatak Sekterianisme, Konservatisme, fanatik dan sebagainya, adalah perkara yang sangat penting untuk kita pahami. Agar pengertiannya tidak “mengambang”, dan dapat dipergunakan oleh setiap orang sesuai dengan kepentingan dan tujuan masing-masing.
Ikhwafillah disini kita menyadari bahwa sekiranya kita menyerahkan definisi kalimat kalimat diatas kepada pendapat-pendapat dan hawa nafsu setiap orang, maka menurut Yusuf Qardhawi hal tersebut niscaya akan berpecah belah diatas berbagai jalan. Apabila mengikuti dorongan hawa nafsu yang tiada ada batas henti. “Dan andaikata kebenaran itu mengikuti kecenderungan hawa nafsu mereka, niscaya binasalah langit dan bumi dan semua yang ada didalamnya” (QS. 23:71).
Beberapa hari kebelakang perjuangan yang melelahkan namun manis buahnya ini telah kita rasakan. Walaupun diberi cap tertentu dengan alasan menghambat dan tidak menerima kemajuan atau Progresivitas berbasis Rasionalitas. Mari kita ambil pelajaran dari kisah Imam Syafi’i Rahimahullah. Bahwa apapun yang kita lakukan asalkan niat utamanya karena Allah ta’ala Insyaallah akan berbuah manis. Dan mari kita bersaksi kepada Allah bahwasanya “Seandainya tindakan atau perjuangan kita ini dinilai sebagai kaum yang kaku, kolot, berwatak sekterianisme dan konservatisme karena untuk menegakan, memelihara dan mempertahankan  agama Allah dan Rasul-Nya. Maka, mari kita berdo’a kepada Allah SWT semoga apa yang kita lakukan ini bernilai pahala dan tetap berpegang teguh terhadap tali agama tauhid”Amiin.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS. 47:7).
Dalam hal ini, AMI sebagai penentang penolakan JIL dan paham Syi’ah yang akan datang ke kampus UIN SGD Bandung, berhasil menjegal kehadiran tokoh JIL dan Syi’ah tersebut yang akhirnya kedua tokoh tersebut tidak hadir dengan alasan yang berbeda. Tapi kemudian acara tersebut tetap berjalan dengan tokoh yang berbeda. Namun setidaknya kita telah mencegah tokoh utama pemahaman yang menyimpang tersebut agar tidak masuk menerobos pintu rumah kita bersama. Sekali lagi perlu kita perjelas bahwa yang kita permasalahkan adalah kedatangan pahamnya bukan orang atau diskusinya.


Wallahua’lam bishawab.

*posting by KN 

0 comments:

Posting Komentar

 
Back to top!