Searching...
Selasa, 12 Mei 2015

Memahami Gaya Hidup Melalui Perspektif Sosiologi Ekonomi

“Memahami Gaya Hidup Melalui Perspektif Sosiologi Ekonomi”
Oleh: Kelompok 8
(Sujandi, Tini Kartini & Yanti Suryanti)

Note : Salah satu Penulis (Sujandi dengan nama Pena Muhammad Jandi Al-Farisi) merupakan kader aktif KAMMI Komisariat UIN Bandung ; Sekdep Sosial Masyarakat (2014-sekarang).  

Muqaddimah
Ditengah perkembangan masyarakat modern menuju masyarakat post modern, selain ditandai dengan munculnya masyarakat informasi dan masyarakat konsumsi, ini juga ditandai dengan munculnya perkembangan gaya hidup masyarakat yang lebih banyak dikendalikan oleh kekuatan industri budaya.
Yang dimana gaya hidup ini bagaimana seseorang mampu menampilkan dirinya dihadapan orang lain, dan bangaimana membangun identitas dihadapan lingkungan sosialnya dalam banyak hal yang dipengaruhi oleh gaya hidup dan konstruksi dirinya untuk menyikapi tuntunan masyarakat dan kepentingan yang melatar belakanginya. Gaya hidup yang seperti apa dan bagaimana cara menampilkanya, semua ini dipengaruhi oleh ekspansi kekuatan kapital atau industri budaya yang sengaja dirancang dan mendorong perkembangan gaya hidup untuk kepentingan akumulasi modal dan keuntungan.
Gaya hidup (Life Style) berbeda dengan cara hidup (Way Of Life). Cara hidup ditampilkan dengan dengan ciri-ciri (norma, ritual, pola-pola tatanan sosial dll), sementara gaya hidup diekspresikan melalui apa yang dikenakan seseorang, apa yang ia konsumsi, dan bagaimana ia bersikap/ berprilaku, ketika dihadapan orang lain.
Gaya hidup bukan sekedar beraktivitas atau mengisi waktu luang, akan tetapi gaya hidup tumbuh dan berkembang oleh kekuatan kapital untuk membangun keuntungan pangsa pasar dan menghela agresivitas masyarakat dalam mengonsusmsi berbagai produk industri. Inilah strategi kaum kapitalisme[1].
    A.    Pengertian Gaya Hidup
Dalam hal kajian sosiologi ekonomi, prilaku konsumsi dan aspek budaya seringkali dipahami sebagai dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Prilaku seseorang dalam membeli produk budaya, mengkonsumsi produk budaya dan memanfaatkanya, selain dipengaruhi berbagai faktor sosial: kelas, usia, gender, dan yang tak kelah penting adalah prilaku konsumsi yang di bentuk oleh gaya hidup. 
   1.      Gaya hidup adalah adabtasi individu terhadap kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang lain.  Yang mecakup kebiasaan, pandangan, dan pola-pola respon terhadap hidup terutama perlengkapan hidup (pakaian, cara kerja, pola konsumsi, dan mengisi waktu luang)[2].
  2.      Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan satu orang dengan orang lainya (Chaney, 2004: 40)[3].
  3.      Gaya hidup adalah cara manusia memberikan makna pada dunia kehidupanya, membutuhkan mediaum dan ruang untuk mengekspresikan makna tersebut, didalamnya terdapat citra yang mempunyai peran yang sangat sentral[4].
  4.      Gaya hidup adalah ciri sebuah dunia modern atau modernitas[5]. Artinya siapapun yang hidup dalam masyarakat modern, akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakanya sendiri maupun orang lian.
 5.      Gaya hidup adalah sesuatu yang sifatnya individual[6].

  B.     Habitat Perkembangan Gaya Hidup
Gaya hidup biasanya berkembang dimasyarakat yang diiringi dengan globalisasi[7], perkembangan pasar bebas dan tranformasi kapitalisme konsusmsi melui dukungan (iklan, media massa, Budaya Populer dan transformasi nilai modern yang dilakukan). Kapitalisme memoles gaya hidup dan membentuk masyarakat konsumen, gaya hidup dan prilaku konsumtif tidak bisa dipisahkan keberadaanya keduanya sudah menjadi habitat subur kapitalisme.
Dalam spesialisasi masyarakat kota yang secara universal bahwa segala sesuatu bertumpu pada suatu titik  yaitu kota. Dan keberlangsungan kapitalisme pun, adalah  kota sebagai target utama dan salah satu faktornya adalah tatanan ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat perkotaan. umumnya ekonomi pasar yang berorientasi pada nilai uang, persaingan dan nilai-nilai inovatif dll, spesialisasi tersebut berlaku bagi masyarakat dan kelompok yang memiliki modal (Capital) dan kekuasan besar. Secara individual masyarakat kota cenderung senantiasa menerima perubahan dan berusaha beradabtasi secara massif dalam perubahan gaya hidup yang sedang berlangsung[8]
  C.    Ciri-Ciri Gaya Hidup

 1.      Gaya hidup mengandalkan simbol-simbol budaya;
 2.      Memamerkan simbol-simbol ekonomi hight class;
 3.      Segalala sesuatu diukur dengan dana yang selangit;
 4.      Keterbukaan, pluralisme tindakan, dan multi pluralisme benar-benar tumbuh;
 5.      Mementingkan diri sendiri;
 6.      Mengutamakan tampil beda dengan yang lain.

 D.    Karakteristik Perkembangan Masyarakat Post-Modern[9] (Ranah Gaya Hidup)

 1.      Budaya tontonan (a Culture Of Spectacle) menjadi cara dan media bagi masyarakat untuk mengekspresikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat kelas atas.
 2.      Masyarakat pesolek (a Dandy Society) yang lebih mementingkan penampilan dari pada kualitas kompetensi dan pengetahuan yang sebenarnya.
 3.      Masyarakat estetisasi (a Beauty Society) mementingkan penampilan dari pada fungsi atau kegunaan barang yang ia miliki.
 4.      Penampilan luar (Lookism) mengutamakan penampilan luar, dengan persepsi dengan tampilan yang ia gunakan maka orang lain akan menilai dirinya adalah ciri orang sukses, kalangan kelas atas, elit dan berdarah biru.
Di era post-modern banyak orang yang mengutamakan profan[10] akan tetapi wilayah kajian kapitalisme kini merabah kepada tataran sesuatu yang sakral dalam agama. Spiritualisme baru seperti (Wisata Religius, Umrah, Haji, Kiayi Beken, Tablig Akbar, Selametan, Upacara Adat, Esklusif Muslim Fashion, Pemilihan Miss Muslimah, Dai Cilik, Aksi Indosiar, Kontes Dai Tpi, Hafidz Cilik, Qari Nasional Dan Internasional, Seminar Islami, Pengajian Di Makam Selama 7 Malam, Maulid Nabi, Ucapan Bela Sungkawa Dibalut Dengan Acara Yang Mewah In Memoriam..) itu semua bentuk kapitalisme yang dibentuk atau dibungkus oleh kain kapitalisme yang menawan. Tidak bisa dipungkiri bahwa tindakan spiritualisme ini tujuanya utamanya adalah keuntungan.
Selain masuk dalam wilayah sakrak gaya hidup kapitalisme juga kini telah mewabah kepada hal-hal yang sangat privat. Seperti (Gaya Hubungan Intim Suami Isteri, Memperpanjang Alat Kelamin, Obat Kuat, Pembesar Payudara, Merapatkan Vagina, Obat Stamina, Kencan Buta, Perselingkuhan, Nikah Kontrak, Pacaran Kontrak, Nikah Online Dll) dibalut menggunakan media iklan, televisi, koram, majalah dll. Pada hakikatnya diera post-modern sepertinya tidak ada lagi ruang dan kehidupan yang tanpa penetrasi atau kontaminasi campur tangan kapitalisme yang menawarkan kemasan gaya hidup yang serba instan.
Disis lain modernisme meberikan manfaat terbesar dalam dunia teknologi dan pergerak dalam kaijan sains. Namun dilain sisi moderitas telah menimbulkan maslah sosial yang termat dalam, dengan kehadiran gaya hidup, masyarakat menjadi hedon, sekuler dan individualisme. Terutama dalam “pendangkalan” nilai-nilai dan budaya ketimuran bagi orang indonesia yang telah berakar dalm tubuh masyarakat.
Dimana dunia sosial dibawah dominasi astetisme, sekurelisme, pluralisme, kalim universalis tentang rasionalitas-instrumental, difernsiasi berbagai lapangan kehidupan sosial, birokrasi, ekonomi, praktek politik dan militer, serta moneterisasi nilai-nilai yang sedang berkambang[11]
Budaya konsumsi masyarakat semakin besar, ditambah dengan bermunculan tempat perbenajaan yang semakin menjamur. Mall, Alfamart, Yomart, Indomart, Cafe, Kedai, Borma, Sb Mart, Carefure, dll. Semuanya dibalut dengan gaya semenarik mungkin. untuk menarik pangsa pasar maka kaum kapitalisme mempunyai cara jitu dan cerdik dengan proses sosialisasi, discoun besar-besaran, promosi melaui berbagai media (cetak dan elekronik).
Selain gaya hidup yang mewabah pada tataran keagamaan, hal yang privat, tempat perbelanjaan, ada pula gaya hidup yang mewabah pada ranah makanan. Seperti gaya hidup mengkonsumsi produk barat, seperti (Md, KFC, Hoka-Hoka Bento, Ramen, CFC, Coca-Cola, Pepsi, Big cola,  Makanan Cepat Saji Lainya, Hotdog, Dll).
  E.     Gaya Hidup Dan Gender[12]
Gaya hidup merupakan cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu dalam kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbol, sekaligus cara bermain dengan identitas. Para aktor ini sesungguhnya sedang mengumpulkan berbagai persepsi dari khalayak umum dari manakah ia berasal (Upper Class Or Lowers Class). Karena dengan gaya hidup kita dapat membedakan orang yang satu dengan yang lainya.
Gaya hidup bukan hanya monopoli kelas menengah keatas, akan tetapi lintas kelas. Bukan pula monopoli kalangan hawa. Tetapi, kaum adampun sama, sering disebut dengan (Lelaki Metroseksual). Kaum lelaki diera sekarang tidak mau kalah saing dengan kaum hawa, ia memoles dirinya dengan berbagai produk, (Tampil Lebih Macho, Pakain Serba Mahal, Penampilan Tubuh  Menjadi no Utama, Sering Nge Gym, Fitnes, Wangi, Rambut Modis, Segala Sesuatu Mengkonsusmsi Industri Budaya Berkelas, Pakaian Yang Serba Tanggung, Celana Yang Pensil, Model Baju Menyerupai Kaum Hawa, Dan Hangouts Ditempat Yang Berkelas, gaya dan tampilan semakin mengutamakan estetis, berusaha matang dalam pennampilan) ini semua sudah menjadi dari bagian dari identitas sosial.  Bagi kekuatan kapitalis wanita menjadi ladang utama untuk menjadikan target dan pangsa pasar. Berikut ini tabel perbandingan gaya hidup laki-laki dan perempuan.
Tabel 1
Perbedaan gaya hidup laki-laki dan perempuan[13]


Angka keseluruhan dewasa awal


Male

Famale
Pakaian
63
40
79
Musik
36
44
27
Jalan-jalan
26
34
19
Penampilan pribadi
16
3
30
Tabungan
14
11
16
Buku
8
7
10
Hobi
8
12
3
Olahraga
8
14
2
Kendaraan
7
12
3
Sumber: BMRB/mintel (mintel: 1988: 98, dalam david chaney, 2004: 70).
Dari tabel diatas sangat tampak perbandinganya, maka tidak heran wanitalah yang menjadi target pangsa pasar kapitalisme, dan wanita seolah-olah mereka hidup dalam panggung sandiwara, ibaratnya kaum wanita selalu tampil esklusif di berbagai moment. Tidak terlepas kaum lelakipun sekarang sekarang ini makin banyak yang terkena virus gaya hidup, tampil metroseksual. Sepertinya tidak ada satu bagian tubuh wanita yang tak terkena polesan kosmetik dan aksesoris budaya populer. Apalagi setelah gencar adanya Operasi Plastik, Pasang Kawat Gigi, Gigi Kelinci, Tempel Kuku, Rambut Sambung, Softlen, Bulu Mata Palsu, Jambul Palsu, alis palsu, sulam bibir, dll.
Dilihat dalam konteks pemasaran produk, gaya hidup seringkali difahami dalam dua pengertian:
1.      gaya hidup bukan sesuatu yang statis, tetapi mengikuti trend sosial;
2.      lebih memfokuskan implikasi (keterlibatan) kultural dari trend sosial.
Para kaum kapitalis biasanya menskenario sedemikian rupa bahwa segala sesuatu akan berubah dan konsumen dipastikan Up To Date, dan terus menguras koceknya untuk membanjiri pasar pembelanjaan (Mall, Cafe, Restouran, Kedai, Wisata, Dll).
Seperti halnya penomena skarang ini masyarakat indoinesia sedang gencar dengan apa yang namnya batu mulya (batu akik) berbagai lapisan masyarakat berbaur dalam suatu perkumpulan yang dimana aktivitas ini memberikan suatu cara pandang yang sangat jelas. Dengan adanya gaya hidup baru dengan trend batu akik maka, secara tidak sengaja proses interaksi dari berbagai kalangan telah terjadi tidak adanya pembedaan kelas maupun jenis kelamin. Yang kaya, sederhana, miskin, laki-laki, perempuan dan semuanya menyatu. Memberikan suatu korelasi mutualisme simbiosis, ada pertukaran nilai yang terjadi.
  F.      Tema Perbincangan Tentang Gaya Hidup[14]
Menurut David Chaney (2004), tema perbincangan gaya hidup pada umumnya membicarakan mengenai: pertama, penampakan luar (Surfaces), kedua, kedirian (Selves), dan ketiga, sensibilitas (Sensibility).
Surfaces, Yang diaman gaya hidup mejadi tahap terpenting untuk memanipulasi identitas sosial, maka gaya hidup selalu teraktualisasi melalui perubahan secara konstan melaui tontonan dari penampilan luar yang dilihat masyarakat umum. Maka dari itu tampilan luar lebih penting dari segalanya untuk memberikan space dan pembeda antara satu dengan yang lainya dengan memanipulasi dan interpretasi penampilan luar.
Ada empat tahapan proses promosi yang terjadi pada masyarakat post-modern untuk mendukung penampilan:
 1.      Idolarity, yaitu produk-produk yang disajikan dalam nilai guna murni;
 2.      Iconology, yaitu produk-produk diberi atribut simbolis;
 3.      Narsisme, yaitu produk-produk yang di personalisasi dalam nilai secara interpersonal;
 4.      Totemisme, yaitu produk-produk tampil sebagai status tanda atau indikator bagi suatu kolektivitas  yang di defininisikan melaui penampilan dan aktivitasnya.
Seseorang dalam memilih produk yang ia beli dan konsumsi sesungguhnya bukan sebagai kebutuhan primer akan tetapi atas dasar dorongan dunia luar yang menuntut dirnya tampil berbeda dengan yang lian.
            Selves, dalam mengembangkan gaya hidup dalam memilih berbagai atribut budaya yang dianggap sesuai dengan kelas atau kelompok sosial dari mana seseorang berasal. Kedirian dan identitas seseorang adalah ekspresi individu per individu untuk memperlihatkan perbedaan dan kekhasan mereka. Kedirian bukanlah sikap egoistis, dan kedirian adalah bagian penting dari proses seseorang dalam membangun dan mengembangkan identitas sosialnya.
            Ada dua konteks perkembangan gaya hidup diera post-modern:
 1.      Cara berpartisipasi masyarakat cenderung berubah dari pola komunal kepola yang lebih privat dan personal;
 2.      Pragmentasi pasar, dimana terjadinya pergeseran dalam pemasaran yang awalnya berbasis khalayak luas dan bercampur kini lebih ter ceruk-ceruk dan terspesialisasikan.
Sensibility, pada dasdarnya berkaitan dengan cara seseoarang untuk menunjukan afilisasinya terhadap berbagai phenomena yang bisa dikenal berbagai kelompok, lewat ide, gagasan, nilai-nilai atau citra rasa musik, makanan dan pakaian. Berbusana dengan cara tertentu, memilih tempat hiburan, temapat ibadah dll. Itu semua adalah cara mengembangkan sensibilitas dalam kerangka budaya material. Dengan melekati barang industri budaya dengan makna simbolis.
 G.    Memahami Gaya Hidup Melaui Perspektif Psikologis
Ketika seseorang telah masuk dalam ranah kapitalisme budaya populer, yang mengutamakan gaya hidup. Eksistensi dalam panggung sandiwara ini adalah ingin mendapatkan pujian atau sedang mereduksi berbagai persepsi orang lain melaui penampilanya. Maka secara psikologis hal tersebut adalah sebuag tindakan seseorang untuk memenuhi naluri kepuasanya dalam hal berpenalpilan. Ini merupakan kebutuhan sosial yang disebabkan pergaulan yang datang dari luar (stimulus), seperti layaknya pada biantang, namun Pada manusia berbantuk nilai. Jadi kebutuhan itu bukan hanya semata-mata kebutuhan bilogis melainkan juga kebutuhan rohaniah.
Menurut Guilford melihat penomena seperti ini perlu adanya[15]:
 1.      Pujian Dan Hinaan, merupakan faktor terpenting dalam pembentukan sistem moral manusia. Pujian merangsang manusia untuk mengejar prestasi dan kedudukan yang terpuji (mengikuti berbagai kontes kecantikan, miss world, miss indonesia, mojang jajaka, L-man, majalah gadis, hight and teen magazine dll) sedangkan hinaan menyadari manusai dari kekeliruan dan pelanggaran terhadap etika sosial.
 2.      Kekuasaan dan mengalah, Adflet Adler mengatakan secara naluriah manusia ingin berkuasa. Nietrczhe mengatakan sebagai motif primer dalam kehidupan manusia, sedangkan Guilford kekuasaan, kebutuhan dan mengalah itu tercermin dari adanya perjuangan manusia.
 3.      Pergaulan, kebutuhan manusia untuk bermasyarakat dan berorganisasi (Homo Socius-Zon Politocon)
 4.      Imitasi Dan Simpati, meniru dan mengadakan respon emosional, sebagai akbibat adanya kebutuhan.
 5.      Perhatian, kebutuahn perhatian merupakan hakikat manusia dalam dunia sosial masyarakat tidak terlepas kecil atau besar perhatian tersebut. Begitupun ketika seseorang dengan gaya hidupnya yang seba mewah maka ia menginginkan perhatian yang medalam terhadapnya.
Sedangkan menurut Dr. Zakiah Daradjat[16] mengatakan bahwa kebutuhan manusia ada yang bersifat kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan rohaniah: jiwa dan sosial. Salah satunya dalah kebutuhan akan rasa bangga diri. Yakni kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang bersifat individual. Diabaikannya akan rasa bangga diri ini cenderung menimbulkan rasa sombong, sensitif, hedonis, individualis dan lainya.
Secara psikologis ketika seseorang mengutamakn gaya hidup dan tata cara prilaku dan tindakannya itu terbagi atas dua tindakan yaitu, fenotipe dan genotipe. Fenotipe adalah tipe yang tampak pada seorang individu dan secara keseluruhan bahwa karakteristik individu secara aktual berkembang. Sedangkan genotipe adalah pembawaan sifat keturunan atau gen suatu organisme[17]. Setiap individu meiliki genotipe yang sama kemudia mereka menampilkanya dalam bentuk dan cara yang berbeda karena pengaruh lingkungan. Jadi ketika seseorang melakukan hal yang berlebihan dalam gaya hidup ada dua kemungkinan pertama karena pembawaan dari keluarganya yang gemar berpenampilan mewah dan berkelas ada juga karena faktor lingkungan yang secara otomatis individu tersebut terbawa arus modernisasi yang secara global tidak bisa lagi di bendung.
  H.    Rangkuman

            Gaya hidup adalah sebuah tindakan yang dilakukan seorang individu untuk mengekspresikan dirinya dihadapan khalayak umum kemudian ia  menunggu berbagai persepsi orang tentang dirinya. Gaya hidup berbeda dengan cara hidup. Gaya hidup tumbuh dan berkembang oleh kekautan kapital untuk kepentingan membangun pangsa pasar, memperbesar keuntungan, dan menghela agresivitas masyarakat dalam mengonsusmsi berbagai budaya industri.
            Gaya hidup kini telah mewabah keberbagai kalangan tidak membedakan kelas sosial seseorang, akan tetapi ada perbedaan dalam mengaktualisasikan/ melakukanya, antara kalangan atas dan kalangan bawah atau menengah. Dengan berbagai karakteristik seseorang untuk mengekpresikan dirinya mulai dari budaya tontonan, masyarakat pesolek, estetisasi penampilan dan penampilan luar.
            Gaya hidup kini bukan monopoli kaum perempuan saja akan tetapi kalangan laki-lakipun kini telah terkontaminasi dengan apa yang namnya gaya hidup dan kaum konsumtif.
            Secara psikologis gaya hidup merupakan salah satu cara seseorang untuk memenuhi kebutuhan rohaninya atau kepuasan diri dalam dirinya sednriri melaui penampilan dan pujian masyarakat luas. Apa yang ia kenakan sesungguhnya ia sedang menanti penilaian dari orang lian. Ada istilah pertukaran sosial yang terjadi dan mutualisme sismbiosis dalam melakukan tindakan gaya hidup seseorang.

 Sumber Rujukan:
Hanani, Silfia. Menggali Interelasi Sosiaologi Dan Agama, Bandung: Humaniora, 2011
Jalaludin, Psikologi Agama,  Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012
Suyanto, Bagong. Sosiologi Ekonomi, Jakarta: Kencana Prenamidia Group, 2013
Wahyu, Ramdani. Ilmu Sosial Budaya, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Kinloch, Graham C. Perkembangan Dan Paradigma Utama Teori Sosialogi, Bandung:     Pustaka Setia, 2014

catatan kaki


[1] Kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme bukan sekedar sebuah nilai atau sebuah mental untuk mencari keuntungan secara rasional dan sistematis atau mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Akan tetapi kapitalisme merupakan sebuah cara produksi dan hubungan dalam proses produksi yang menimbulkan implikasi ekonomi politik, sosial psikologis maupun kultural. Esensi kapitalisme adalah pemilikan, persaingan, dan rasionalitas (Bagong Suyanto, 2014: 78,79 & 85).
[2] Bagong Suyanto, Ibid. h 138
[3] Bagong Suyanto, Ibid. h 139
[4] Bagong Suyanto, Ibid. h 140
[5] Bagong Suyanto, Ibid. h 142
[6] Bagong Suyanto, Ibid. h 144
[7] Globalisasi adalah penyebaran praktik, relasi, kesadaran dan organisasi keberbagai penjuru dunia, yang telah melahirkan transformasi dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
[8] Ramdani Wahyu, Ilmu Sosial Budaya, Bandung: Pustaka Setia, 2007. h. 212
[9] Bagong suyanto, op. Cit. h 145-146
[10] KBBI, profan adalah suatu sikap Menjauhkan dari hal-hal keagamaan atau tidak ada kaitanya dengan agama.
[11] Silfia Hanani, Menggali Interelasi Sosiaologi Dan Agama, Bandung: Humaniora, 2011. H 136
[12] Bagong suyanto, Op. Cit. h 147
[13] Bagong suyanto, Op.Cit. h 149
[14] Bagong suyanto, Op. Cit. h 150
[15] Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012. h. 99
[16] Jalaludin, Op. Cit. h. 101
[17] Jalahaludin, Op. Cit. h. 266


post by HUMAS KAMMI UIN Bandung
site our Medsos in Fanspage : KAMMI UIn Bandung, instagram@KAMMI UIN Bandung

0 comments:

Posting Komentar

 
Back to top!