Searching...
Minggu, 08 Agustus 2010

Melukis Senja Keinsyafan


Mata pemuda itu berkaca-kaca, mengalirkan embun-embun segar yang semakin deras berderai dari kelopak matanya membasahi kemejanya yang lusuh. Bila tidak ada keimanan yang telah terpatri di relung hatinya, mungkin ia telah memilih untuk mengakhiri hidupnya dan meninggalkan kefanaan kehidupan ini. Bagaimana tidak, di usianya yang masih belia-16 tahun-, ia dihadapkan pada dua pilihan yang dilematis. Islam ataukah keluarga, fasilitas dan tanah kelahirannya. Memilih antara dua adalah dilema tetapi bila satu telah melangkah pergi maka ringan bebanku untuk kembali merajut episode ini BersamaMu ya ilahi.
Keputusan besar itu telah ia ambil, dengan mengucap Bismillahirahmanirrahim Islamlah yang ia pilih. Dengan kepedihan yang mendalam, pemuda itu pun meninggalkan keluarganya di sebrang dan berhijrah ke tanah pasundan yg konon didominasi oleh orang-orang Islam dengan keislamannya begitu kental. Pemuda yg sering di panggil eki ini kini mulai melukis lembaran baru kehidupannya di tanah pasundan.

***
Eki menarik nafasnya dalam-dalam, pemuda ini masih memejamkan matanya sambil menyandarkan punggungnya ke jok mobil elf yg sedang melaju ke Pangalengan. Ya walaupun sudah beristirahat di Bandung selama sehari setelah melalui perjalanan selama empat hari pelabuhan Pantoloan-Tanjung priuk dengan mengendarai kapal laut, keletihan perjalanan itu masih menyisakan keletihan, khususnya keletihan jiwa yang tak kunjung juga sirna. Ia sekarang tinggal bersama keluarga baru, kerabat jauh Ibunya yang tak begitu dikenalnya. Seingatnya keluarga ini dahulunya adalah transmigran dari Jawa Barat ke daerah Sulawesi dan ayahnya begitu akrab sampai-sampai layaknya keluarga dekat. Ayahnya pada waktu itu bekerja sebagai pegawai Deptnakertrans (Dep.tenaga kerja dan transmigrasi) dan dikenal sebagai orang yang santun lagi baik hati. Sehingga kedatanganya ke Bandung pun langsung disambut keluarga ini.
“Ki..”. sapa Asep, “Cape Henteu atawa pegelnya?” lanjutnya dengan logat Sundanya,
“ Eh..cep mana ngerti eki bahasa Sunda ” jelas ibu Asep.
“ Oh iyaya, Ki ..cape tidak” Tanya Asep lagi.
Aku pun terhenyak dari lamunanku,
“ Iya…Asep, saya lumayan letih” jawabku seadanya, karena belum banyak kata yg bisa ku obrolkan, terlebih aku merasa masih lelah setelah perjalanan jauh.
“Ki di Sulawesi panas nya? Kakek saja sewaktu dulu ke Palu sampai sakit karena tidak tahan panasnya, ya iyalah karena kakek dari Pangalengan, daerahnya tiriiiss pisan apalagi kalau subuh..hih….hih…(sambil memperlihatkan tubuh yg mengigil) airnya kaya es dikulkas ba’al pokoknya”. Jelas kakek dengan ekspresi wajah yang unik.
***
Perjalananku sepertinya hampir tiba, ditandai dengan hawa dingin yang mulai menyelimutiku, namun subhanallah luar biasa, pemandangan di saat senja itu setidaknya dapat mengobati sedikit kegalauan yg masih bergumul di hati ini, suasana begitu teduh dengan hawa dinginnya yg khas di hiasi deretan pohon-pohon teh hijau serta langit yg jingga kemerah-merahan, pohon pinus yang lebat dan berjejer rapi, sungguh keindahan panorama pegunungan yang indah.
“Allahuakbar…Allahuakbar………”
Gema Adzan magrib membahana di seantero perjalanan, suasana yang jarang kutemukan di rumahku -Palu- karena di daerah asalku tidak mudah menemukan mesjid ataupun mushola di setiap sudut jalan berbeda dengan di Pangalengan.
Alhamdulillah..serentak kami mengambil sekantong es buah yang telah kami siapkan untuk berbuka, Ya ini adalah Puasa pertamaku dan Ramadhan pertamaku. Beberapa menit kemudian kami telah sampai ke Kecamatan Pangalengan, dengan diselimuti udara dingin dan pekatnya malam akupun menapaki jalan setapak demi setapak mengikuti nenek dan anaknya. Aku pun tak sabar ingin segera sampai. Beberapa menit kemudian, tibalah kami di depan pagar rumah yang di hiasi pot-pot bunga tertata Rapi.
“Tok…tok…Assalamualaikum” Asep mengetuk pintu dan mengucap salam, Ayahnya membukakan pintu langsung memeluku dengan eratnya, tanda bahagia dan rindu mungkin karena di Sulawesi dulu sewaktu balita aku sering di timang-timangnya. kami pun segera masuk, setelah meletakan tas maka akupun segera mengambil air wudlu untuk bergegas sholat maghrib. Asep mengimami kami solat maghrib.
“Bismillahirahmanirrahiiim, Alhamdulillahirrabbil’alamin, Arrahmanirrahim…malikiyaumiddin..Iyyakana’abudu waiyyakanasta’in,…”
hiks…hiks…hiks…aku pun menangis sejadi-jadinya, tangisanku meledak ketika mendengarkan lantunan Al-fatihah dan surat An-nashr bagaikan tanah gersang yg diguyur dan dibasahi sejuknya hujan, begitu pula hati ini rasanya begitu lapang dan sejuk, tetesan air mataku pun tak terbendung lagi membasahi sajadah. Maha Suci Allah.. begitu damainya hati ini, apalagi disaat sujud rasanya tidak ingin bangkit dari sujud ini. Diri ini merasa begitu hina, lemah, kotor, risau, gundah, takut, semuanya bercampur aduk, namun di saat sujud semua perasaan itu seakan sirna layaknya kegelapan yang sirna oleh fajar yang terang benderang. Semua perasaan tidak karuan ini seakan mencair bersama tangisan dan air mataku yang membasahi sajadahku.
“hik…hiks…hiks…” tangisanku tak kunjung sirna. Setelah selesai dari salat maghrib tangisanku bagai banjir bandang, bukan semakin kecil namun semakin menjadi-jadi. Aku pun menatap dengan seksama jendela yang terbuat dari kaca bening tembus pandang itu. Akupun menatap lekat-lekat senja kala itu yang masih meyisahkan warna jingga merona yang seakan ikut menangis bersamaku.
“Ki…ki..sudah nangisnya ya, kita makan dulu…” sambil menyodorkan nasi panas, ikan mas goreng dan sayur buncis tumis kesayanganku, teh Kulsum mencoba menenangkanku, sepertinya ia bingung dan mencoba merasakan bagaimana emosi jiwaku. Mahasiswi semester enam Universitas Nusantara (Uninus) yang di balut dengan jilbab biru lebar ini terus membujuku agar segera makan. Kutarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri sambil menghela nafas panjang. Aku pun bergegas untuk mencuci kembali wajahku yang penuh dengan air mata dan ingus. Haah…lega rasanya, kalau disini tidak perlu sholat dengan perasaan khawatir dan risau lagi, rasanya ini adalah anugrah yang begitu besar, karena sebelumnya, saat di Sulawesi rasanya risau bila shalat, selalu dibayang-bayangi ke khawatiran ketahuan shalat, namun aku pun selalu mencari kesempatan shalat sewaktu orang tuaku tidur dimalam hari, aku selalu bangun untuk shalat, bahkan sering kali kujama, dzuhur, ashar, mahgrib, kadang subuh, di malam itu sekaligus. Kadang kulaksanakan solat di bawah kolong tempat tidur, berbekal buku risalah shalat sebesar saku baju berwarna pink, aku memperagakan gerakan dan melafalkan ayat-ayat yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
“ Bismillahirrahmanirrahiiim…Nuuun..wal qolami wama yasturun,ma’anta bini’mati robbika bimajnun.wa innakala lajrun ghoirumamnun,wa innakal’ala khulukin adhim…” sayup-sayup..terdengar lantunan ayat suci Al-quran dengan suara yang merdu. Nampaknya teh kulsum begitu menghayati dan fasih melantunkannya. Hatiku merasa sejuk mendengarkannya, pikiranku melayang mengawang sampai kerumahku. Aku membayangkan bila saja, ibuku yang melatunkannya, di ikuti oleh kedua adik perempuanku…hem..kutarik nafas dalam-dalam..
“ya Allah Ya Rabbi hambaMu ini ingin bisa membaca Al-quran kaya teh kulsum fasih dan merdu,ya Allah sepertinya sejuk bila bisa membacakan surat-surat cintaMu ya Allah,” desahku membatin. Aku iri karena belum bisa membaca Al-Quran...sepanjang malam itu teh kulsum terus melatunkan ayat-ayat suci itu dengan indah...Sebelum merebahkan tubuh kepembaringan..kulangkahkan kaki untuk mengambil air wudlu. Subhanallah..kuraba air jernih dan dingin yang mengalir dari pemancuran, begitu dingin dan menyejukan bahkan sampai terasa pada jiwa. Biarlah bulir-bulir air jernih dan sejuk ini mengisi dan tersublimasi kedalam raga dan jiwa ini menjadi bait-bait untuk meniti keinsyafanku. Kuhirup udara dalam-dalam lalu kuhempaskan kembali..fiuu..Kuhamparkan sajadah kehidupanku sebagai tempatku untuk bersujud, sambil memandangi sajadah bermotif mesjid aku mulai paham bahwa sesungguhnya kehidupan kita yg terhampar luas adalah sajadah. Ya, lalu aku pun bertakbir untuk mengagungkannya, ruku sebagai ketundukan padaNya sambil meyerahkan seluruh lara dan kepedihan yg kutumpahruahkan dari pundak ini padaNya karena ku tak kuasa dan aku yakin Allah yang Maha kuasa mampu meyelesaikannya dengan indah. Dalam sujudku, ku memohon ampun akan kesombongan dan keangkuhanku selama ini dan mulai merengek padaNya. Aku merasa terbenam dalam lautan cinta yang tak kupahami. Akupun berusaha menggapainya dalam kesendirian malam itu, lalu aku rampungkan salat tiga raka’atku. Selepas bermunanjat, aku terpaku bermuhasabah akan hari yang kulalui hari ini.
“Lukisan senja hari ini telah terukir, membayangi lembayung yang kian beringsut menjauhi objek pandang, Bias takdir yang samar mulai kulukis bersama senja keinsyafan. Dia tersenyum manis menyambutku, biarlah kuhempaskan diri dalam lara bernaungkan iman untuk mendewasakan diri dan hati untuk mengetuk pintu-Mu. Salam Cinta dariku seorang hamba yang bermimpi setangguh Umar dan selembut Abu bakar yang terenyuh hatinya oleh ayat-ayat suci.
Musafir yang sedang belajar melangkah menuju HidayahNya. addoif Muhammad.Mulki.Ibrahim Al-Faruq.

0 comments:

Posting Komentar

 
Back to top!