Perjuangan Dan Labelling. Lalu, Bagaimana
Sikap Kita?
Oleh: M. Jandi
Editor: A.Az
Bismillahirahmanirrohim.
Di
abad 21 ini, berbagai penyimpangan dan penistaan agama semakin bermunculan dan
terus tumbuh bak jamur dimusim hujan. Tujuan mereka tidak lain yaitu upaya
pencacatan akidah. Upaya tersebut hari ini tidak lagi dilakukan dengan
kekerasan fisik seperti pada tragedi Valencia di Spanyol, dimana 60.000 kaum
muslimin dibantai dalam satu hari. Tapi hari ini upaya mereka mencacatkan
akidah kaum muslimin adalah dengan perang pemikiran. Oleh sebabnyalah pada abad
ini kita temui bahwa gerakan-gerakan yang jelas memiliki tujuan memerangi
akidah umat islam sangat masif kita rasakan. Salah satunya adalah jaringan
islam liberal (JIL) dan Syi’ah. Kedua faham ini sangat meresahkan umat muslim
khususnya Indonesia, bahkan berbagai ormas dan kelompok islam pun menolak akan
keberadaannya di Indonesia. Karena dari kedua gerakan ini terlalu berlebihan
dalam menafsirikan berbagai nash-nash syar’i dan cenderung merendahkanya.
Jaringan
Islam Liberal dan Syi’ah memiliki tujuan. Yakni, ingin menjungkirbalikkan akidah
umat muslim dan secara perlahan masuk dalam serambi jantungnya, dan kemudian
menghancurkannya. Kita sadari bersama bahwasanya untuk menumpas penyimpangan
pemahaman sesat ini bukanlah pekerjaan mudah. Maka dari itu, perlu adanya kerja kolektif dari berbagai
kalangan untuk membendung paham liberal yang berusaha menempelkan diri pada
tubuh umat Islam.
Beberapa
hari yang lalu, penulis mendapatkan pesan dari media sosial yang dimana isinya
mengenai JIL. Yang ditulis oleh Prof. KH. Muthofa Ali Ya’kub, rahimahullah.
Bahwa JIL adalah sebuah pemikiran yang sifatnya liberal. Pemikiran tidak
terpaku dengan teks-teks agama yakni (Al-Qur’an dan Hadist), tetapi lebih
terikat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam teks-teks tersebut. Dalam
implementasinya pemikiran ini dapat disebut meninggalkan teks sama sekali, dan
hanya menggunakan rasio dan selera belaka.
Setelah
penulis telusuri dari berbagai sumber bahwa perpaduan kedua kata yakni “islam”
dan “liberal” sangatlah tidak tepat. Karena menurut para ulama, islam itu
artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan liberal artinya bebas,
dalam pengertian ini tidak harus tunduk pada ajaran (Al-quran dan Assunah) oleh
karenanya, menurut Prof. Ya’kub pemikiran liberal sebenarnya tepat disebut
sebagai “Pemikiran iblis” dari pada “Pemikiran Islam”, karena makhluk pertama
yang tidak taat kepada Allah swt. adalah iblis.
Pekan
ini, tepat pada tanggal 9 Mei 2016, UIN SGD Bandung digegerkan dengan wacana sebuah
diskusi yang diadakan oleh salah satu jurusan. Dan tentunya diskusi ini
menghadirkan sosok pemikir cendikiawan jaringan islam liberal (JIL) yaitu Ulil
Abshar Abdala dan tokoh Syi’ah yakni Jalaludin Rahmat. Kedatangan kedua tokoh
ini menjadi pertimbangan berat bagi kalangan yang anti JIL dan Syi’ah karena
dikhawatirkan akan menyebarkan dan menanamkan faham liberalnya kepada siapapun
yang bersua di gedung multi purpose
nanti. Maka dari itu, untuk membendung hal tersebut dibentuklah sebuah Aliansi
Mahasiswa Islam (AMI), sebagai pelopor penolakan kedatangan kedua paham
tersebut. Namun alhasil dari gerakan ini, AMI diberi hadiah yang sangat
berbeda. Yaitu sebauh labelling yang menitikberatkan pada tindakan yang
negatif.
Dalam
hal ini penulis ingin mengajak kawan-kawan sekalian untuk sama-sama menyikapi,
menilai, memahami dan mendalami sebuah label yang selama beberapa hari ini termuat
dalam selembaran pressrealese yang
disematkan bagi penolak paham liberal. Yaitu : sekterianisme dan konservatisme.
Dilembar pertama tertulis “Kami menentang sekterianisme dan konservatisme”
dikalangan civitas akadmika UIN SGD Bandung. Dilembar kedua tertulis “Hadang
konservatisme dan sekterianisme berkedok agama”. Dilembar pertama, menurut KBBI dijelaskan
bahwa Sekterianisme adalah semangat membela suatu sekte atau mahdzab,
kepercayaan, atau pandangan agama yang berbeda dari pandangan agama yang lebih
lazim diterima oleh para penganut agama tersebut. Sedangkan Konservatisme
adalah paham politik yang ingin mempertahankan stabilitas sosial, melestarikan
pranata yang sudah ada. Menurut mereka, kedua istilah ini sangat mengganggu,
karena dianggap menghambat jalannya diskusi antar mahdzab dan cenderung anti-dialog
saat bertindak. Padahal dari pihak AMI sendiri telah melakukan dialog dan
audiensi mengenai penolakan paham tersebut yang telah siap maju selangkah lagi
menuju gerbang kampus Islam. Namun segala tawaran dalam audiensi tersebut
ditolak dari pihak acara.
Labelling
yang disematkan kepada pihak AMI (sekterianisme dan konservatisme) sejatinya
sebuah hal yang wajar dikala ada sebuah gerakan sosial yang terjadi. Maka,
berbagai penilaian atau labellingpun disematkan. Namun, tergantung dari
sudut pandang yang mana kita menilainya. Jika kita memandangnya negatif maka
jeleklah yang akan kita terima. Tetapi, jika kita menilainya dengan positif
maka kebaikan yang akan kita peroleh. Tentunya Allah Azza Wajalla dan pihak
AMI yang lebih mengetahui makna dan tujuan dibalik tindakan ini. Sehingga AMI
bisa menjelaskan kepada khalayak umum mengenai cara pandang (worldview)
seperti apa yang perlu diutamakan.
Mari
kita belajar dari seorang tokoh muslim yang juga menerima dan merasakan dilabelisasi.
Penulis mengutip buku yang ditulis oleh Syekh Yusuf Qardhawi yang berjudul “Analisis
dan Pencerahan Islam Ekstrem”. Dihalaman 25 terdapat sub tema yang berbunyi
“menetapkan batas arti ekstremitas keagamaan serta dasar-dasarnya”. Yusuf Qardhawi
menjelaskan bahwa segala sesuatu keterangan atau ketetapan yang tidak
disandarkan kepada pemahaman Islam yang murni, nash-nash serta kaidah syar’iyyah
yang kuat tidaklah berharga sama sekali. Apalagi yang disandarkan kepada
pendapat-pendapat yang simpangsiur, tidak pula perkataan yang dari fulan atau
fulan. Karena perkataan siapapun tidak bisa dijadikan dalil yang pasti selain
firman Allah swt. dan sabda Nabi Muhammad saw.
“Apabila
kamu berselisih pendapat dalam suatu perkara, hendaklah kamu kembali kepada
Allah dan Rasulnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”.
(QS. 4: 59).
Dimasa
lalu, Imam Syafi’i tokoh Ahlus Sunnah, pernah dituduh sebagai rafidhi
(sebutan penghinaan yang biasa ditunjukan oleh kaum nawashib yaitu kaum
pembenci Ali bin Abi Thalib r.a dan Ahlul Bait. Kepada para pecinta ahlul bait,
terutama kaum Syi’ah). Kemudian dengan nada menantang ia berkata sebagai
jawaban “Jika saya akan dituduh sebagai orang rafidhi hanya karena saya
mencintai keluarga Muhammad saw, maka biarlah semuanya bersaksi, bahwa saya
adalah seorang rafidhi”.
Kemudian
akhir-akhir inipun, salah seorang da’i berkata dalam do’anya: “Ya Allah,
bila berpegang teguh pada kitab dan sunnah dianggap sebagai sikap seorang raj’i
(terbelakang, kolot dan kaku) maka hidupkan dan matikanlah aku dalam keadaan
raj’i, serta kumpulkanlah aku dengan orang-orang raj’i”.
Ikhwafillah
pejuang tauhid yang dimuliakan Allah, dalam hal ini kita perlu memahami hakikat
dan tabiat sebuah peristiwa. Terutama jika kita bertindak dan kemudian diberi
cap, maka lihatlah dan amatilah dari sudut pandang yang mana kita menilainya.
Maka dari itu, dalam hal ini kita perlu mengetahui bahwa pada kenyataanya,
membatasi dan menegaskan pemahaman beberapa kalimat yang tersiar secara luas.
Seperti: Raj’i (Kolot), Jumud (Beku), Fundamental, Ekstrem,
Berwatak Sekterianisme, Konservatisme, fanatik dan sebagainya, adalah perkara
yang sangat penting untuk kita pahami. Agar pengertiannya tidak “mengambang”,
dan dapat dipergunakan oleh setiap orang sesuai dengan kepentingan dan tujuan
masing-masing.
Ikhwafillah
disini kita menyadari bahwa sekiranya kita menyerahkan definisi kalimat kalimat
diatas kepada pendapat-pendapat dan hawa nafsu setiap orang, maka menurut Yusuf
Qardhawi hal tersebut niscaya akan berpecah belah diatas berbagai jalan.
Apabila mengikuti dorongan hawa nafsu yang tiada ada batas henti. “Dan
andaikata kebenaran itu mengikuti kecenderungan hawa nafsu mereka, niscaya
binasalah langit dan bumi dan semua yang ada didalamnya” (QS. 23:71).
Beberapa
hari kebelakang perjuangan yang melelahkan namun manis buahnya ini telah kita
rasakan. Walaupun diberi cap tertentu dengan alasan menghambat dan tidak menerima
kemajuan atau Progresivitas berbasis Rasionalitas. Mari kita ambil pelajaran
dari kisah Imam Syafi’i Rahimahullah. Bahwa apapun yang kita lakukan
asalkan niat utamanya karena Allah ta’ala Insyaallah akan berbuah manis.
Dan mari kita bersaksi kepada Allah bahwasanya “Seandainya tindakan atau
perjuangan kita ini dinilai sebagai kaum yang kaku, kolot, berwatak
sekterianisme dan konservatisme karena untuk menegakan, memelihara dan
mempertahankan agama Allah dan Rasul-Nya.
Maka, mari kita berdo’a kepada Allah SWT semoga apa yang kita lakukan ini
bernilai pahala dan tetap berpegang teguh terhadap tali agama tauhid”Amiin.
“Wahai
orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS. 47:7).
Dalam
hal ini, AMI sebagai penentang penolakan JIL dan paham Syi’ah yang akan
datang ke kampus UIN SGD Bandung, berhasil menjegal kehadiran tokoh JIL dan
Syi’ah tersebut yang akhirnya kedua tokoh tersebut tidak hadir dengan alasan
yang berbeda. Tapi kemudian acara tersebut tetap berjalan dengan tokoh yang
berbeda. Namun setidaknya kita telah mencegah tokoh utama pemahaman yang
menyimpang tersebut agar tidak masuk menerobos pintu rumah kita bersama. Sekali
lagi perlu kita perjelas bahwa yang kita permasalahkan adalah kedatangan pahamnya
bukan orang atau diskusinya.
Wallahua’lam bishawab.
0 comments:
Posting Komentar