“Memahami Gaya Hidup
Melalui Perspektif Sosiologi Ekonomi”
Oleh: Kelompok 8
(Sujandi,
Tini Kartini & Yanti Suryanti)
Note : Salah satu Penulis (Sujandi dengan nama Pena Muhammad Jandi Al-Farisi) merupakan kader aktif KAMMI Komisariat UIN Bandung ; Sekdep Sosial Masyarakat (2014-sekarang).
Muqaddimah
Ditengah
perkembangan masyarakat modern menuju masyarakat post modern, selain ditandai
dengan munculnya masyarakat informasi dan masyarakat konsumsi, ini juga
ditandai dengan munculnya perkembangan gaya hidup masyarakat yang lebih banyak
dikendalikan oleh kekuatan industri budaya.
Yang
dimana gaya hidup ini bagaimana seseorang mampu menampilkan dirinya dihadapan
orang lain, dan bangaimana membangun identitas dihadapan lingkungan sosialnya
dalam banyak hal yang dipengaruhi oleh gaya hidup dan konstruksi dirinya untuk
menyikapi tuntunan masyarakat dan kepentingan yang melatar belakanginya. Gaya
hidup yang seperti apa dan bagaimana cara menampilkanya, semua ini dipengaruhi
oleh ekspansi kekuatan kapital atau industri budaya yang sengaja dirancang dan
mendorong perkembangan gaya hidup untuk kepentingan akumulasi modal dan
keuntungan.
Gaya
hidup (Life Style) berbeda dengan cara hidup (Way Of Life). Cara
hidup ditampilkan dengan dengan ciri-ciri (norma, ritual, pola-pola tatanan
sosial dll), sementara gaya hidup diekspresikan melalui apa yang dikenakan
seseorang, apa yang ia konsumsi, dan bagaimana ia bersikap/ berprilaku, ketika
dihadapan orang lain.
Gaya
hidup bukan sekedar beraktivitas atau mengisi waktu luang, akan tetapi gaya
hidup tumbuh dan berkembang oleh kekuatan kapital untuk membangun keuntungan
pangsa pasar dan menghela agresivitas masyarakat dalam mengonsusmsi berbagai
produk industri. Inilah strategi kaum kapitalisme[1].
A. Pengertian Gaya Hidup
Dalam
hal kajian sosiologi ekonomi, prilaku konsumsi dan aspek budaya seringkali
dipahami sebagai dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Prilaku seseorang dalam
membeli produk budaya, mengkonsumsi produk budaya dan memanfaatkanya, selain
dipengaruhi berbagai faktor sosial: kelas, usia, gender, dan yang tak kelah
penting adalah prilaku konsumsi yang di bentuk oleh gaya hidup.
1.
Gaya
hidup adalah adabtasi individu terhadap kondisi sosial dalam rangka memenuhi
kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang lain. Yang mecakup kebiasaan, pandangan, dan
pola-pola respon terhadap hidup terutama perlengkapan hidup (pakaian, cara
kerja, pola konsumsi, dan mengisi waktu luang)[2].
2.
Gaya
hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan satu orang dengan orang lainya
(Chaney, 2004: 40)[3].
3.
Gaya
hidup adalah cara manusia memberikan makna pada dunia kehidupanya, membutuhkan
mediaum dan ruang untuk mengekspresikan makna tersebut, didalamnya terdapat
citra yang mempunyai peran yang sangat sentral[4].
4.
Gaya
hidup adalah ciri sebuah dunia modern atau modernitas[5].
Artinya siapapun yang hidup dalam masyarakat modern, akan menggunakan gagasan
tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakanya sendiri maupun orang lian.
5.
Gaya
hidup adalah sesuatu yang sifatnya individual[6].
B. Habitat Perkembangan Gaya Hidup
Gaya
hidup biasanya berkembang dimasyarakat yang diiringi dengan globalisasi[7],
perkembangan pasar bebas dan tranformasi kapitalisme konsusmsi melui dukungan
(iklan, media massa, Budaya Populer dan transformasi nilai modern yang
dilakukan). Kapitalisme memoles gaya hidup dan membentuk masyarakat konsumen,
gaya hidup dan prilaku konsumtif tidak bisa dipisahkan keberadaanya keduanya
sudah menjadi habitat subur kapitalisme.
Dalam
spesialisasi masyarakat kota yang secara universal bahwa segala sesuatu
bertumpu pada suatu titik yaitu kota.
Dan keberlangsungan kapitalisme pun, adalah kota sebagai target utama dan salah satu
faktornya adalah tatanan ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat perkotaan.
umumnya ekonomi pasar yang berorientasi pada nilai uang, persaingan dan
nilai-nilai inovatif dll, spesialisasi tersebut berlaku bagi masyarakat dan
kelompok yang memiliki modal (Capital) dan kekuasan besar. Secara
individual masyarakat kota cenderung senantiasa menerima perubahan dan berusaha
beradabtasi secara massif dalam perubahan gaya hidup yang sedang berlangsung[8].
C. Ciri-Ciri Gaya Hidup
1.
Gaya
hidup mengandalkan simbol-simbol budaya;
2.
Memamerkan
simbol-simbol ekonomi hight class;
3.
Segalala
sesuatu diukur dengan dana yang selangit;
4.
Keterbukaan,
pluralisme tindakan, dan multi pluralisme benar-benar tumbuh;
5.
Mementingkan
diri sendiri;
6.
Mengutamakan
tampil beda dengan yang lain.
D. Karakteristik Perkembangan Masyarakat
Post-Modern[9]
(Ranah Gaya Hidup)
1.
Budaya
tontonan (a Culture Of Spectacle) menjadi cara dan media bagi masyarakat
untuk mengekspresikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat kelas atas.
2.
Masyarakat
pesolek (a Dandy Society) yang lebih mementingkan penampilan dari pada
kualitas kompetensi dan pengetahuan yang sebenarnya.
3.
Masyarakat
estetisasi (a Beauty Society) mementingkan penampilan dari pada fungsi
atau kegunaan barang yang ia miliki.
4.
Penampilan
luar (Lookism) mengutamakan penampilan luar, dengan persepsi dengan
tampilan yang ia gunakan maka orang lain akan menilai dirinya adalah ciri orang
sukses, kalangan kelas atas, elit dan berdarah biru.
Di
era post-modern banyak orang yang mengutamakan profan[10]
akan tetapi wilayah kajian kapitalisme kini merabah kepada tataran sesuatu yang
sakral dalam agama. Spiritualisme baru seperti (Wisata Religius, Umrah,
Haji, Kiayi Beken, Tablig Akbar, Selametan, Upacara Adat, Esklusif Muslim
Fashion, Pemilihan Miss Muslimah, Dai Cilik, Aksi Indosiar, Kontes Dai Tpi,
Hafidz Cilik, Qari Nasional Dan Internasional, Seminar Islami, Pengajian Di
Makam Selama 7 Malam, Maulid Nabi, Ucapan Bela Sungkawa Dibalut Dengan Acara
Yang Mewah In Memoriam..) itu semua bentuk kapitalisme yang dibentuk atau
dibungkus oleh kain kapitalisme yang menawan. Tidak bisa dipungkiri bahwa
tindakan spiritualisme ini tujuanya utamanya adalah keuntungan.
Selain
masuk dalam wilayah sakrak gaya hidup kapitalisme juga kini telah mewabah
kepada hal-hal yang sangat privat. Seperti (Gaya Hubungan Intim Suami
Isteri, Memperpanjang Alat Kelamin, Obat Kuat, Pembesar Payudara, Merapatkan
Vagina, Obat Stamina, Kencan Buta, Perselingkuhan, Nikah Kontrak, Pacaran
Kontrak, Nikah Online Dll) dibalut menggunakan media iklan, televisi,
koram, majalah dll. Pada hakikatnya diera post-modern sepertinya tidak ada lagi
ruang dan kehidupan yang tanpa penetrasi atau kontaminasi campur tangan
kapitalisme yang menawarkan kemasan gaya hidup yang serba instan.
Disis
lain modernisme meberikan manfaat terbesar dalam dunia teknologi dan pergerak
dalam kaijan sains. Namun dilain sisi moderitas telah menimbulkan maslah sosial
yang termat dalam, dengan kehadiran gaya hidup, masyarakat menjadi hedon, sekuler
dan individualisme. Terutama dalam “pendangkalan” nilai-nilai dan budaya
ketimuran bagi orang indonesia yang telah berakar dalm tubuh masyarakat.
Dimana
dunia sosial dibawah dominasi astetisme, sekurelisme, pluralisme, kalim
universalis tentang rasionalitas-instrumental, difernsiasi berbagai lapangan
kehidupan sosial, birokrasi, ekonomi, praktek politik dan militer, serta
moneterisasi nilai-nilai yang sedang berkambang[11]
Budaya
konsumsi masyarakat semakin besar, ditambah dengan bermunculan tempat
perbenajaan yang semakin menjamur. Mall, Alfamart, Yomart, Indomart, Cafe,
Kedai, Borma, Sb Mart, Carefure, dll. Semuanya dibalut dengan gaya
semenarik mungkin. untuk menarik pangsa pasar maka kaum kapitalisme mempunyai
cara jitu dan cerdik dengan proses sosialisasi, discoun besar-besaran, promosi
melaui berbagai media (cetak dan elekronik).
Selain
gaya hidup yang mewabah pada tataran keagamaan, hal yang privat, tempat
perbelanjaan, ada pula gaya hidup yang mewabah pada ranah makanan. Seperti gaya
hidup mengkonsumsi produk barat, seperti (Md, KFC, Hoka-Hoka Bento, Ramen, CFC,
Coca-Cola, Pepsi, Big cola, Makanan
Cepat Saji Lainya, Hotdog, Dll).
E. Gaya Hidup Dan Gender[12]
Gaya
hidup merupakan cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu
dalam kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbol, sekaligus cara
bermain dengan identitas. Para aktor ini sesungguhnya sedang mengumpulkan
berbagai persepsi dari khalayak umum dari manakah ia berasal (Upper Class Or
Lowers Class). Karena dengan gaya hidup kita dapat membedakan orang yang
satu dengan yang lainya.
Gaya
hidup bukan hanya monopoli kelas menengah keatas, akan tetapi lintas kelas.
Bukan pula monopoli kalangan hawa. Tetapi, kaum adampun sama, sering disebut
dengan (Lelaki Metroseksual). Kaum lelaki diera sekarang tidak mau kalah
saing dengan kaum hawa, ia memoles dirinya dengan berbagai produk, (Tampil
Lebih Macho, Pakain Serba Mahal, Penampilan Tubuh Menjadi no Utama, Sering Nge Gym, Fitnes,
Wangi, Rambut Modis, Segala Sesuatu Mengkonsusmsi Industri Budaya Berkelas,
Pakaian Yang Serba Tanggung, Celana Yang Pensil, Model Baju Menyerupai Kaum
Hawa, Dan Hangouts Ditempat Yang Berkelas, gaya dan tampilan semakin
mengutamakan estetis, berusaha matang dalam pennampilan) ini semua sudah
menjadi dari bagian dari identitas sosial. Bagi kekuatan kapitalis wanita menjadi ladang
utama untuk menjadikan target dan pangsa pasar. Berikut ini tabel perbandingan
gaya hidup laki-laki dan perempuan.
Tabel 1
Perbedaan gaya hidup
laki-laki dan perempuan[13]
Angka keseluruhan dewasa awal
|
Male
|
Famale
|
|
Pakaian
|
63
|
40
|
79
|
Musik
|
36
|
44
|
27
|
Jalan-jalan
|
26
|
34
|
19
|
Penampilan pribadi
|
16
|
3
|
30
|
Tabungan
|
14
|
11
|
16
|
Buku
|
8
|
7
|
10
|
Hobi
|
8
|
12
|
3
|
Olahraga
|
8
|
14
|
2
|
Kendaraan
|
7
|
12
|
3
|
Sumber:
BMRB/mintel (mintel: 1988: 98, dalam david chaney, 2004: 70).
Dari
tabel diatas sangat tampak perbandinganya, maka tidak heran wanitalah yang
menjadi target pangsa pasar kapitalisme, dan wanita seolah-olah mereka hidup
dalam panggung sandiwara, ibaratnya kaum wanita selalu tampil esklusif di
berbagai moment. Tidak terlepas kaum lelakipun sekarang sekarang ini makin
banyak yang terkena virus gaya hidup, tampil metroseksual. Sepertinya tidak ada
satu bagian tubuh wanita yang tak terkena polesan kosmetik dan aksesoris budaya
populer. Apalagi setelah gencar adanya Operasi Plastik, Pasang Kawat Gigi,
Gigi Kelinci, Tempel Kuku, Rambut Sambung, Softlen, Bulu Mata Palsu, Jambul
Palsu, alis palsu, sulam bibir, dll.
Dilihat dalam
konteks pemasaran produk, gaya hidup seringkali difahami dalam dua pengertian:
1.
gaya
hidup bukan sesuatu yang statis, tetapi mengikuti trend sosial;
2.
lebih
memfokuskan implikasi (keterlibatan) kultural dari trend sosial.
Para
kaum kapitalis biasanya menskenario sedemikian rupa bahwa segala sesuatu akan
berubah dan konsumen dipastikan Up To Date, dan terus menguras koceknya
untuk membanjiri pasar pembelanjaan (Mall, Cafe, Restouran, Kedai, Wisata,
Dll).
Seperti
halnya penomena skarang ini masyarakat indoinesia sedang gencar dengan apa yang
namnya batu mulya (batu akik) berbagai lapisan masyarakat berbaur dalam suatu
perkumpulan yang dimana aktivitas ini memberikan suatu cara pandang yang sangat
jelas. Dengan adanya gaya hidup baru dengan trend batu akik maka, secara tidak
sengaja proses interaksi dari berbagai kalangan telah terjadi tidak adanya
pembedaan kelas maupun jenis kelamin. Yang kaya, sederhana, miskin, laki-laki,
perempuan dan semuanya menyatu. Memberikan suatu korelasi mutualisme simbiosis,
ada pertukaran nilai yang terjadi.
Menurut
David Chaney (2004), tema perbincangan gaya hidup pada umumnya membicarakan
mengenai: pertama, penampakan luar (Surfaces), kedua, kedirian (Selves),
dan ketiga, sensibilitas (Sensibility).
Surfaces,
Yang diaman gaya hidup mejadi tahap terpenting untuk memanipulasi identitas
sosial, maka gaya hidup selalu teraktualisasi melalui perubahan secara konstan
melaui tontonan dari penampilan luar yang dilihat masyarakat umum. Maka dari
itu tampilan luar lebih penting dari segalanya untuk memberikan space dan
pembeda antara satu dengan yang lainya dengan memanipulasi dan interpretasi
penampilan luar.
Ada
empat tahapan proses promosi yang terjadi pada masyarakat post-modern untuk
mendukung penampilan:
1. Idolarity,
yaitu produk-produk yang disajikan dalam nilai guna murni;
2. Iconology,
yaitu produk-produk diberi atribut simbolis;
3. Narsisme,
yaitu produk-produk yang di personalisasi dalam nilai secara interpersonal;
4. Totemisme,
yaitu produk-produk tampil sebagai status tanda atau indikator bagi suatu
kolektivitas yang di defininisikan
melaui penampilan dan aktivitasnya.
Seseorang
dalam memilih produk yang ia beli dan konsumsi sesungguhnya bukan sebagai
kebutuhan primer akan tetapi atas dasar dorongan dunia luar yang menuntut
dirnya tampil berbeda dengan yang lian.
Selves, dalam mengembangkan
gaya hidup dalam memilih berbagai atribut budaya yang dianggap sesuai dengan
kelas atau kelompok sosial dari mana seseorang berasal. Kedirian dan identitas
seseorang adalah ekspresi individu per individu untuk memperlihatkan perbedaan
dan kekhasan mereka. Kedirian bukanlah sikap egoistis, dan kedirian adalah
bagian penting dari proses seseorang dalam membangun dan mengembangkan
identitas sosialnya.
Ada dua konteks perkembangan gaya
hidup diera post-modern:
1.
Cara
berpartisipasi masyarakat cenderung berubah dari pola komunal kepola yang lebih
privat dan personal;
2.
Pragmentasi
pasar, dimana terjadinya pergeseran dalam pemasaran yang awalnya berbasis
khalayak luas dan bercampur kini lebih ter ceruk-ceruk dan terspesialisasikan.
Sensibility,
pada dasdarnya berkaitan dengan cara seseoarang untuk menunjukan afilisasinya
terhadap berbagai phenomena yang bisa dikenal berbagai kelompok, lewat ide,
gagasan, nilai-nilai atau citra rasa musik, makanan dan pakaian. Berbusana
dengan cara tertentu, memilih tempat hiburan, temapat ibadah dll. Itu semua
adalah cara mengembangkan sensibilitas dalam kerangka budaya material. Dengan
melekati barang industri budaya dengan makna simbolis.
G. Memahami Gaya Hidup Melaui Perspektif
Psikologis
Ketika
seseorang telah masuk dalam ranah kapitalisme budaya populer, yang mengutamakan
gaya hidup. Eksistensi dalam panggung sandiwara ini adalah ingin mendapatkan
pujian atau sedang mereduksi berbagai persepsi orang lain melaui penampilanya.
Maka secara psikologis hal tersebut adalah sebuag tindakan seseorang untuk
memenuhi naluri kepuasanya dalam hal berpenalpilan. Ini merupakan kebutuhan
sosial yang disebabkan pergaulan yang datang dari luar (stimulus), seperti
layaknya pada biantang, namun Pada manusia berbantuk nilai. Jadi kebutuhan itu
bukan hanya semata-mata kebutuhan bilogis melainkan juga kebutuhan rohaniah.
Menurut Guilford
melihat penomena seperti ini perlu adanya[15]:
1.
Pujian
Dan Hinaan, merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan sistem moral manusia. Pujian merangsang manusia untuk mengejar
prestasi dan kedudukan yang terpuji (mengikuti berbagai kontes kecantikan, miss
world, miss indonesia, mojang jajaka, L-man, majalah gadis, hight and teen
magazine dll) sedangkan hinaan menyadari manusai dari kekeliruan dan
pelanggaran terhadap etika sosial.
2.
Kekuasaan
dan mengalah, Adflet Adler mengatakan secara
naluriah manusia ingin berkuasa. Nietrczhe mengatakan sebagai motif primer
dalam kehidupan manusia, sedangkan Guilford kekuasaan, kebutuhan dan mengalah
itu tercermin dari adanya perjuangan manusia.
3.
Pergaulan,
kebutuhan manusia untuk bermasyarakat dan berorganisasi (Homo Socius-Zon
Politocon)
4.
Imitasi
Dan Simpati, meniru dan mengadakan respon emosional,
sebagai akbibat adanya kebutuhan.
5.
Perhatian,
kebutuahn perhatian merupakan hakikat manusia dalam dunia sosial masyarakat
tidak terlepas kecil atau besar perhatian tersebut. Begitupun ketika seseorang
dengan gaya hidupnya yang seba mewah maka ia menginginkan perhatian yang
medalam terhadapnya.
Sedangkan
menurut Dr. Zakiah Daradjat[16]
mengatakan bahwa kebutuhan manusia ada yang bersifat kebutuhan sekunder yaitu
kebutuhan rohaniah: jiwa dan sosial. Salah satunya dalah kebutuhan akan rasa bangga
diri. Yakni kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang bersifat individual.
Diabaikannya akan rasa bangga diri ini cenderung menimbulkan rasa sombong,
sensitif, hedonis, individualis dan lainya.
Secara
psikologis ketika seseorang mengutamakn gaya hidup dan tata cara prilaku dan
tindakannya itu terbagi atas dua tindakan yaitu, fenotipe dan genotipe.
Fenotipe adalah tipe yang tampak pada seorang individu dan secara
keseluruhan bahwa karakteristik individu secara aktual berkembang. Sedangkan genotipe
adalah pembawaan sifat keturunan atau gen suatu organisme[17].
Setiap individu meiliki genotipe yang sama kemudia mereka menampilkanya dalam
bentuk dan cara yang berbeda karena pengaruh lingkungan. Jadi ketika seseorang
melakukan hal yang berlebihan dalam gaya hidup ada dua kemungkinan pertama
karena pembawaan dari keluarganya yang gemar berpenampilan mewah dan berkelas
ada juga karena faktor lingkungan yang secara otomatis individu tersebut
terbawa arus modernisasi yang secara global tidak bisa lagi di bendung.
H.
Rangkuman
Gaya
hidup adalah sebuah tindakan yang dilakukan seorang individu untuk
mengekspresikan dirinya dihadapan khalayak umum kemudian ia menunggu berbagai persepsi orang tentang
dirinya. Gaya hidup berbeda dengan cara hidup. Gaya hidup tumbuh dan berkembang
oleh kekautan kapital untuk kepentingan membangun pangsa pasar, memperbesar
keuntungan, dan menghela agresivitas masyarakat dalam mengonsusmsi berbagai
budaya industri.
Gaya
hidup kini telah mewabah keberbagai kalangan tidak membedakan kelas sosial
seseorang, akan tetapi ada perbedaan dalam mengaktualisasikan/ melakukanya,
antara kalangan atas dan kalangan bawah atau menengah. Dengan berbagai
karakteristik seseorang untuk mengekpresikan dirinya mulai dari budaya
tontonan, masyarakat pesolek, estetisasi penampilan dan penampilan luar.
Gaya
hidup kini bukan monopoli kaum perempuan saja akan tetapi kalangan laki-lakipun
kini telah terkontaminasi dengan apa yang namnya gaya hidup dan kaum konsumtif.
Secara
psikologis gaya hidup merupakan salah satu cara seseorang untuk memenuhi
kebutuhan rohaninya atau kepuasan diri dalam dirinya sednriri melaui penampilan
dan pujian masyarakat luas. Apa yang ia kenakan sesungguhnya ia sedang menanti
penilaian dari orang lian. Ada istilah pertukaran sosial yang terjadi dan
mutualisme sismbiosis dalam melakukan tindakan gaya hidup seseorang.
Sumber Rujukan:
Hanani, Silfia. Menggali
Interelasi Sosiaologi Dan Agama, Bandung: Humaniora, 2011
Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012
Suyanto, Bagong. Sosiologi Ekonomi, Jakarta:
Kencana Prenamidia Group, 2013
Wahyu, Ramdani. Ilmu Sosial Budaya, Bandung:
Pustaka Setia, 2007
Kinloch, Graham C. Perkembangan
Dan Paradigma Utama Teori Sosialogi, Bandung: Pustaka Setia, 2014
catatan kaki
[1] Kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa
melakukan usahanya untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme
bukan sekedar sebuah nilai atau sebuah mental untuk mencari keuntungan secara
rasional dan sistematis atau mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Akan
tetapi kapitalisme merupakan sebuah cara produksi dan hubungan dalam proses
produksi yang menimbulkan implikasi ekonomi politik, sosial psikologis maupun
kultural. Esensi kapitalisme adalah pemilikan, persaingan, dan rasionalitas (Bagong
Suyanto, 2014: 78,79 & 85).
[2] Bagong Suyanto, Ibid. h 138
[3] Bagong Suyanto, Ibid. h 139
[4] Bagong Suyanto, Ibid. h 140
[5] Bagong Suyanto, Ibid. h 142
[6] Bagong Suyanto, Ibid. h 144
[7] Globalisasi adalah penyebaran praktik, relasi, kesadaran dan
organisasi keberbagai penjuru dunia, yang telah melahirkan transformasi dalam
berbagai aspek kehidupan manusia.
[8] Ramdani Wahyu, Ilmu Sosial Budaya, Bandung: Pustaka Setia,
2007. h. 212
[9] Bagong suyanto, op. Cit. h 145-146
[10] KBBI, profan adalah suatu sikap Menjauhkan dari hal-hal keagamaan atau
tidak ada kaitanya dengan agama.
[11] Silfia Hanani, Menggali Interelasi Sosiaologi Dan Agama,
Bandung: Humaniora, 2011. H 136
[12] Bagong suyanto, Op. Cit. h 147
[13] Bagong suyanto, Op.Cit. h 149
[14] Bagong suyanto, Op. Cit. h 150
[15] Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2012. h. 99
[16] Jalaludin, Op. Cit. h. 101
[17] Jalahaludin, Op. Cit. h. 266
post by HUMAS KAMMI UIN Bandung
site our Medsos in Fanspage : KAMMI UIn Bandung, instagram@KAMMI UIN Bandung
0 comments:
Posting Komentar